EMPAT jurnalis yang meliput peresmian Kawasan Pangan Nusantara (KPN) oleh Wakil Presiden RI Ma’ruf Amin di Desa Talaga, Kecamatan Dampelas, Kabupaten Donggala, diduga telantar seusai bertugas. Mereka harus berjalan kaki di bawah terik dan berdebu sejauh enam kilo meter.
Empat jurnalis itu adalah Abdee Mari dari TVOne, Mitha Meinansi dari Metro TV, Lia Abast dari Truestory.id, dan Jumriani dari Hariansulteng.com.
Mereka dengan terpaksa mengambil risiko capek karena seusai meliput tidak mendapat tumpangan kendaraan roda dua mau pun roda empat dari lokasi peresmian menuju tempat parkir mobil yang digunakan dari Palu.
Menerima keluhan ini, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Sulteng, Moh Iqbal Rasyid menyayangkan peristiwa yang dialami ke empat jurnalis tersebut.
“Mendengar apa yang disampaikan teman-teman, saya atas nama ketua AMSI Sulteng merasa prihatin dan sangat menyayangkan apa yang dialami teman-teman,” tegasnya di Palu, Kamis 5 Oktober 2023.
Menurut Iqbal, kejadian yang dialami empat jurnalis Sulteng itu
menimbulkan kesan bahwa buruknya koordinasi dari para pelaksana kegiatan di lapangan. Baik itu dari pemerintah kabupaten, provinsi, mau pun dari pemerintah pusat.
Apa lagi, di lokasi peresmian KPN yang berada di dalam hutan tersebut tidak disediakan tempat khusus bagi para jurnalis.
Al hasil, seluruh jurnalis yang turun meliput harus menahan panasnya matahari.
“Jurnalis atau wartawan itu suatu profesi yang tinggi derajatnya. Bekerja di bawah naungan Undang-Undang Pers. Tidak semestinya disuruh kesana-kemari untuk mencari tempat sendiri. Kesannya seperti diusir-usir,” ungkapnya.
Iqbal mengambarkan, bahwa koordinasi dari para pelaksana di lapangan tidak tepat. Sehingga jurnalis yang meliput menjadi terabaikan. Padahal karya jurnalistik yang dihasilkan jurnalis atau wartawan yang meliput di lapangan adalah kunci penyambung informasi kepada publik.
Ditambah lagi adanya kekerasan saat mengambil jatah makan siang.
Iqbal mengaskan, itu adalah sebuah alasan yang sangat dibuat-buat jika menyebut tidak tersedia jatah makan siang bagi para jurnalis yang meliput, sebab semua yang hadir sudah terdata dan memiliki id card resmi dari penanggung jawab acara.
“Kalaupun memang benar tidak ada jatah makan siang untuk wartawan, kami bisa pahami. Tapi harusnya disampaikan dengan bahasa yang lebih santun, bukan dengan nada membentak dan memukul kotak kemasan makanan,” ujarnya.
Hal yang paling miris adalah mengharuskan empat jurnalis tersebut berjalan kaki naik turun tanjakan untuk sampai ke parkiran kendaraan. Kejadian itu bermula saat para jurnalis akan kembali dari lokasi peliputan setelah acara selesai.
Masing-masing tim liputan berupaya mencari transportasi untuk mengatar hingga ke lokasi parkiraan yang ditentukan dengan jarak kurang lebih 6 kilo meter dari tempat acara berlangsung. Ada yang berhasil mendapat tumpangan kendaraan kendati berdesak-desakan, ada juga yang mendapat penolakan dari pengemudi mobil.
Dalam situasi itu, Dani, pengemudi mobil dari empat jurnalis dimaksud berinisiatif mengambil mobil di parkiran dan akan kembali untuk menjemput mereka di sekitar lokasi acara. Dani memaksa ikut pada salah satu kendaraan yang akan turun.
Namun oleh petugas yang berjaga di parkiran mobil, Dani juga tetap tidak dibolehkan membawa kenderaannya ke lokasi kegiatan meski dengan alasan menjemput tamu.
“Kalau saat menuju tempat acara diangkut oleh truk yang disiapkan, semestinya pada saat pulang juga diantar kembali. Bukan hanya terhadap jurnalis, tetapi seluruh tamu yang hadir, karena yang saya tau ada ketua-ketua adat yang juga sempat berjalan kaki sebelum akhirnya ada yang mengangkut memberi tumpangan mereka,” beber Iqbal.
Oleh karena itu, Iqbal memastikan, apa yang dialami teman-temannya adalah upaya penelantaran yang tidak semestinya terjadi. Sehingga ia berharap dalam kegiatan serupa dikesempatan lain, tidak ada lagi jurnalis yang mendapat perlakuan tidak menyenangkan.
Sementara itu, Abdee Mari yang juga merupakan sekretaris AMSI Sulteng, turut memberi koreksi terhadap kejadian tersebut. Selain karena merasa kelelahan, ia juga mengaku harus mengalami kram betis karena berjalan cukup jauh.
“Saran saja, berikut-berikutnya jika acara di lokasi KPN harus benar-benar memberdayakan teman-teman media. Sebagai contoh, teman-teman tidak difasilitasi shuttle bus atau truk untuk dimobilisasi dari lokasi yg jaraknya jauh ke parkiran. Atau jika tidak ada shuttle bus truk minimal akses kendaraan bisa masuk agar tidak ada kejadian seperti kemarin,” saran Abdee.
Ia juga menilai, koordinasi antara aparat dalam kegiatan peresmian KPN dengan Pemda setempat tidak konek. Sehingga banyak wartawan yang mendapat perlakukan buruk dalam hal makanan, hingga akses.
“Dan pelakunya dari oknum-oknum Pemda Donggala. Solusinya ke depan, jika ada kegiatan di KPN Donggala harus ada tempat khusus wartawan untuk stay agar tidak diusir-usir seperti ‘kambing’,” tandas Abdee. AMSI Sulteng/DatSaja