POHON kersen tumbuh subur di halaman sebuah hunian sementara (huntara). Daunnya yang rindang menghalau terik yang siang itu menjadi tempat berkumpulnya sekelompok warga. Terdengar dari kejauhan mereka serius membicarakan sesuatu.
Lima warga yang merupakan penyintas bencana alam tersebut membahas huntara yang saat ini mereka tinggali di Kelurahan Petobo, Kecamatan Palu Selatan, Palu, Sulawesi Tengah.
Tahun ini, sudah masuk tahun ke lima pasca gempabumi, tsunami, dan likuifaksi yang terjadi pada 28 September 2018 melanda Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong.
Namun 600 keluarga atau setara 1.000-an jiwa masih bertahan hidup di bilik huntara berukuran 12 meter persegi. Sesak karena sempit tinggal di huntara, menjadi sebagian kecil keluhan seluruh penghuni.
“Sudah lima tahun kami bertahan di sini dan belum ada kejelasan kapan pindah ke hunian tetap (huntap),” kata penghuni huntara Petobo, Abdul Naim, Kamis 28 September 2023.
Penyintas mulai menempati huntara Petobo sejak 2019. Huntara itu dibangun pemerintah untuk menampung warga yang kehilangan rumah saat status tanggap darurat bencana ditetapkan.
Sebagaimana target Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), huntara yang dibangun di daerah bencana termasuk di Kelurahan Petobo hanya dimanfaatkan selama satu sampai dua tahun seraya menunggu pembangunan huntap.
Faktanya, nestapa bagi ratusan keluarga di Petobo. Harapan mereka untuk menata kehidupan baru di huntap seakan sirna. Mengeluh pun tidak ada yang memperdulikan. Terlebih ketika kondisi huntara semakin memprihatinkan, mereka terpaksa bertahan.
Setelah lima tahun digunakan, hampir semua bilik huntara yang dindingnya bermaterial kalsiboard termakan usia. Bahkan, ada beberapa dinding huntara yang pecah dan rusak.
Selain itu, lantai huntara yang mayoritas menggunakan multiplek banyak yang bocor sehingga perlu diganti.
“Huntara ini sebenarnya sudah tidak layak untuk ditinggali lagi,” tegas Naim.
Untuk mendapatkan penghasilan, mayoritas penghuni huntara Petobo bekerja serabutan.
“Semuanya dikerja sekarang. Mulai dari buruh bangunan sampai memulung barang bekas. Yang penting halal, warga di sini pasti kerjakan,” tutupnya.
Bertahan karena janji
Meski dengan segala kekurangannya, bagi 600 keluarga bertahan di huntara Petobo adalah keputusan yang tepat. Pasalnya, jika mereka meninggalkan huntara, tidak ada tempat lagi untuk bermukim.
“Sekarang rumah sudah tidak ada, kalau tinggalkan huntara mau tinggal di mana lagi?. Makanya saya bertahan,” ungkap penghuni huntara Petobo, Hasan.
Hasan rasakan betul ketika gempabumi berkekuatan 7,4 magnitudo menguncang. Setelahnya, tanah yang dipijak berubah menjadi lumpur dan bergerak ke beberapa arah. Segalanya yang ada di atas tanah hancur.
Tidak hanya rumah, kendaraan, dan tumbuhan. Beberapa orang termasuk hewan ternak juga tergulung likuifaksi yang dilihatnya seperti ombak di laut.
“Kami sekeluarga lari ke arah tanah yang keras. Sampai di tempat aman baru berhenti. Dari situ saya sudah tidak tahu orang-orang yang terkena likuifaksi itu selamat atau tidak,” bebernya.
Saat ini, ratusan keluarga di huntara Petobo telah didata untuk mendapatkan huntap dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Sulteng.
“Semua warga bertahan di huntara karena janji pemerintah. Katanya kalau huntap sudah jadi, kami dipindahkan ke huntap. Itu yang sampai sekarang kami tunga,” imbuhnya.
Penghuni huntara Petobo lainnya, Lukman Tenggo menambahkan, pembangunan huntap kawasan di Petobo tengah berlangsung. Sebagaimana target pemerintah, tahun ini seharusnya huntap itu telah selesai dibangun dan ditempati warga.
Tidak tahu apa penyebabnya, dari 655 huntap yang rencananya dibangun, baru 648 unit yang tampak fisiknya.
“Itu pun huntap yang sudah ada belum 100 persen selesai. Makanya saya pesimis tahun ini penyintas bisa semuanya pindah ke huntap,” paparnya.
Lukman menyebutkan, dari hasil pemantauan langsung di lokasi, ia memprediksi tahun depan (2024) warga baru bisa secara bertahap pindah ke huntap yang dibangun secara permanen tersebut.
“Pembangunannya itu kan harus selesai semua baru ditinggali, seperti pemukimannya, jalannya, dan fasilitas umum lainnya. Sementara sekarang proses pembangunanya kemungkinan itu baru sekitar 70 persen. Bisa jadi 2024 warga baru pindah,” tandasnya.
Berdasarkan data BPBD Sulteng, masih ada sekitar 1.330 kepala keluarga yang saat ini tinggal di huntara dan belum dapat huntap.
Di mana, ribuan jiwa penyintas itu tersebar di tiga wilayah terdampak. Mulai dari Palu, Sigi, dan Donggala.
Huntap untuk penyintas becana alam Sulteng hingga 2022 lalu baru terbangun 3.463 unit dari rencana pembangunan huntap 5.000-an unit.
Korban jiwa akibat tiga bencana alam Sulteng mencapai 2.685 orang.
2.132 jiwa di antaranya warga Palu, 289 warga Sigi, 249 warga Donggala, dan 15 warga Parigi Moutong.
Adapun korban hilang 1.373 jiwa. Korban luka-luka 4.438 jiwa. Dan tercatat ada 221.450 orang mengungsi.
Pemerintah memperkirakan dampak kerugian becana Sulteng senilai Rp2,89 triliun. Sedangkan dampak kerusakan Rp15,58 triliun. DatSaja