BANJIR yang menerjang Libya pada 10 September lalu tidak hanya memicu kerugian finansial tapi juga sumber daya manusia termasuk tenaga kesehatan.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) melaporkan bahwa banjir bandang itu membuat 101 petugas kesehatan di Libya kehilangan nyawa.
Beberapa tenaga kesehatan meninggal di rumah dan sisanya meregang nyawa saat menjalankan tugas.
Keluarga dan rekan kerja menggambarkan kesedihan dan perasaan tidak berdaya mereka saat melihat kerabat, teman, dan kolega mereka tersapu oleh kekuatan banjir.
Petugas kesehatan yang meninggal tersebut termasuk di antara 4.333 orang yang sejauh ini dipastikan tewas setelah badai tersebut. Sementara, lebih dari 8.500 orang masih hilang.
Perwakilan WHO di Libya, Dr Ahmed Zouiten, memberikan penghormatan kepada para petugas kesehatan yang tewas dalam banjir.
“WHO berdiri bersama rakyat Libya dalam berduka atas kehilangan begitu banyak petugas kesehatan yang berdedikasi,” ujar Zouiten mengutip keterangan resmi WHO, Sabtu 7 Oktober 2023.
Dia menambahkan, 101 dokter, perawat, dan paramedis yang kehilangan nyawa itu tidak hanya membawa duka bagi keluarga dan orang-orang tercinta, tapi seluruh masyarakat Libya.
“Seluruh masyarakat terkena dampak kepergian mereka dan tentunya sektor kesehatan di Libya timur dan sekitarnya akan terkena dampak paling parah,” tambahnya.
Bahkan sebelum Badai Daniel melanda negara tersebut, sistem kesehatan Libya telah sangat terganggu akibat konflik yang terjadi selama lebih dari satu dekade.
Fasilitas pelayanan kesehatan primer di seluruh negeri masih menghadapi kekurangan staf, obat-obatan, peralatan dan teknologi medis. Hilangnya 101 petugas kesehatan di Libya timur merupakan pukulan berat tambahan.
Melihat situasi buruk ini, WHO bekerja sama dengan otoritas kesehatan lokal dan nasional untuk menemukan solusi segera. Tujuannya, memastikan bahwa orang-orang yang terkena dampak bisa kembali memiliki akses terhadap layanan kesehatan.
WHO memimpin upaya untuk merehabilitasi dan memperkuat sistem kesehatan Libya. Caranya dengan memulihkan fungsi fasilitas kesehatan yang terkena dampak melalui penempatan pekerja kesehatan dari kota-kota yang tidak terlalu terkena dampak. Upaya lainnya adalah pengiriman obat-obatan, pasokan dan peralatan medis.
Zouiten mengatakan bahwa upaya ini adalah cara yang tepat untuk mengenang para petugas kesehatan yang tewas dalam bencana banjir.
“WHO akan menghormati kenangan mereka dengan melakukan upaya memulihkan layanan kesehatan dan melanjutkan warisan mereka dalam melayani kelompok rentan, menyelamatkan nyawa, dan menjaga keamanan masyarakat,” katanya.
Peran tenaga dan fasilitas kesehatan masih sangat dibutuhkan, mengingat banjir juga membawa pengaruh buruk bagi kesehatan masyarakat terdampak yang selamat.
Sekitar 30.000 hingga 35.000 orang terpaksa mengungsi akibat banjir. Mereka tinggal di tenda-tenda dan pemukiman yang penuh sesak di wilayah Provinsi Derna. Di sana, mereka memiliki akses terbatas terhadap air bersih dan sanitasi.
Menurut WHO, sebagian besar risiko kesehatan bagi para penyintas banjir berasal dari keberadaan air yang terkontaminasi. Dan buruknya fasilitas kebersihan serta sanitasi.
Risikonya mencakup ancaman wabah penyakit yang ditularkan melalui air seperti diare akut dan kolera. Serta wabah penyakit yang ditularkan melalui vektor seperti demam tifoid, demam berdarah, malaria, dan demam kuning.
Tantangan-tantangan ini diperparah dengan terganggunya layanan kesehatan, terutama bagi kelompok rentan seperti anak-anak, perempuan dan pasien dengan penyakit kronis.
Di sisi lain, puluhan ribu orang telah kehilangan orang yang dicintai, rumah, mata pencaharian, dan semua harta benda mereka. Sehingga menempatkan mereka pada risiko besar mengalami tekanan mental akut. WHO/Liputan6.com/DatSaja